BAJU BARU DAN TOPLES BERISI PERMEN COKLAT



Bulan ramadan kemarin, ada acara KURMA (Kegiatan Buka Bersama) dan satunan anak yatim yang cerita lengkapnya akan aku posting di blog ini nanti. Tapi kali ini aku akan menulis sebuah cerita yang sampai sekarang tak terlupakan bagiku karena membuatku merasa malu dan bersalah sekaligus.

Di bagian pendaftaran waktu itu, ada seorang nenek yang menggendong anak laki-laki yang berusia sekitar 5 tahun. Anak itu sepertinya ketakutan dan tidak terbiasa dengan banyaknya orang yang sudah terlebih dahulu datang.

Setelah aku minta mengisi daftar hadir, aku memakaikan tanda pengenal berupa paper crown bertuliskan nama si anak. Dan tanpa diminta nenek itu pun bercerita,
“Ini cucuku. Ayahnya meninggal saat anak ini belum lahir. Sekarang ibunya harus bekerja, dan aku yang merawatnya” 
Aku hanya tersenyum sambil mengantar nenek tersebut duduk di dalam aula balai desa. Sambil berdoa dalam hati, semoga nanti ada kesempatan untuk ngobrol sejenak dengan si nenek di sela-sela acara karena sepertinya beliau ingin bercerita lebih banyak.

Sayangnya, kemudian aku sedemikian sibuk sampai melupakan beliau. Sampai waktunya sholat maghrib berjamaah, dan nenek itu ternyata ada disampingku.
“Mbah, cucunya satu ini?" Sapaku.
“Iya. Santunannya kapan nduk?"
“InsyaAllah setelah sholat dan makan bersama mbah. Semoga nanti bermanfaat nggih?"
“Iya nduk. Kalau dapat santunan begini, alhamdulillah. Besok juga dapat santunan lagi dari masjid"
“Oh, setelah ini juga dapat santunan lagi”

Dalam hati, wah dapat santunan dari tempat lain. Banyak dong. Sekilas pikiran jahat muncul. Kalau santunannya banyak, bisa dipakai untuk orang tuanya ini, bukan untuk keperluan anaknya (astaghfirullah..).

“Kalau tidak pas puasa begini ya tidak ada yang mau ngasih nduk. Kasihan anakku, ibunya anak ini. Harus bekerja jadi buruh pabrik. Buat makan kami” ceritanya lagi.
“Nanti santunannya buat apa saja mbah?” tanyaku.
“Buat beli baju baru buat anak ini, sama beli permen coklat. Katanya ingin punya toples berisi permen  coklat seperti teman-temannya”.

Dan aku jadi malu seketika. Merasa bersalah karena telah berburuk sangka.

“Nggih mbah. Semoga bisa membuat adek senang ya mbah” kataku terharu.

Memangnya kenapa kalau ada banyak yang memberi santunan? Bukankah seharusnya aku senang karena itu berarti ada anak yatim lagi yang akan bahagia karenanya?
 
Momen puasa dan lebaran ini, yang bagi banyak orang memang jadi punya alasan untuk belanja, yang jadi punya alasan untuk mengeluarkan banyak uang untuk berbagai macam keperluan, bukankah  juga dialami  oleh mereka-mereka yang kurang mampu?

Memang tidak harus ada baju baru, tapi mengetahui teman-teman si anak memakai baju baru, tegakah si ibu melihat kecewa anaknya karena tidak punya baju baru juga?

Memang tidak harus ada toples kue di meja tamu, tapi melihat tetangganya ada, tegakah orang tua melihat tatapan bertanya si anak kenapa rumahnya tidak seperti mereka?

Aku jadi malu, memberi tapi masih saja menghakimi.
Berbagi tapi masih saja mencurigai.
Maafkan aku mbah. Maafkan.
Dan semoga, sedikit dari kami, bisa untuk membeli baju lebaran, toples berisi permen coklat ya..

Post a Comment

0 Comments