MENUNGGU IKHLAS









Di antara kedua adik perempuanku, aku memang yang paling dekat dengan almarhum Bapak sejak dulu. Aku yang lebih sering berada di rumah, aku kuliah di dalam kota sedangkan kedua adikku kuliah di luar kota. Aku juga yang paling sering menemani Bapak dan mengantar beliau kerja setiap pagi, sehingga sering punya banyak waktu untuk ngobrol dibanding dengan adik-adikku.

Tapi kemudian, aku juga yang mungkin paling sering berdebat dengan beliau. Bapak dulu selalu rajin shalat malam dan baca Al Quran setiap pagi. Diawali sebelum subuh, beliau sudah bangun, mandi dan kemudian shalat tahajud sampai subuh. Setelah sholat subuh di masjid atau di rumah, beliau akan melanjutkan membaca Al Quran sampai pagi. Begitulah kebiasaan beliau ketika di rumah. Kebiasaan yang dulu bagiku terasa sangat menyebalkan.

Tahu kan rasanya, jam 3 pagi terbangun karena bunyi orang mandi di kamar mandi yang berisik sekali? Aku pernah marah-marah pada Bapak karena berisik sekali dan mengganggu tidurku. Demikian juga setiap membaca Al Quran setelah subuh. Aku yakin sekali Bapak sengaja mengeraskan suaranya agar kami anak-anaknya bangun segera untuk sholat subuh.

Bapak sebenarnya jarang di rumah, beliau sopir luar kota yang hanya di rumah sekitar tiga hari dalam seminggu. Tapi kalau di rumah, malah sering membuat kami kesal.

“Bapaak, kalau ngaji pelan dikit dong. Aku mau tidur lagii..” aku berkata kesal sehabis sholat subuh,

“Biar kamu bangun, ayo ikut ngaji sini..” kata Bapak santai.

“Nggak!!” lalu menutup telingan dan kembali tidur.

Pagi itu, aku harus mengantar Bapak bekerja selepas subuh. Sambil menungguku bangun dan sholat subuh, Bapak seperti biasa membaca Al Quran di ruang tamu. Setelah kami berdua pergi, di atas motor, Bapak mengajakku bicara.

“Kamu itu rajinlah baca Al Quran. Besok kalau Bapakmu mati, siapa yang mengajikan?”

“Bapak ini, mosok aku ngaji nunggu Bapak mati.”

“Justru itu, mulai sekarang, biasakan mengaji. Ngaji itu soal kebiasaan. Kamu sudah diajari baca Al Quran, dan butuh dilatih setiap hari biar lancar. Ben lanyah, Nduk”

“Aku kalau ngaji biar atas kemauanku sendiri Pak. Bikin nggak ikhlas kalau Bapak yang maksa,” masih bantahku

“Kalau menunggu ikhlas, sampai mati pun kamu tidak akan bisa khatam. Paksa dirimu untuk ngaji, biar terbiasa.” kata Bapak tegas.

Bapak bukan orang yang agamis. Beliau tidak lulus SD dan banyak menghabiskan waktunya di jalanan yang teramat keras. Kami, anak-anaknya bisa dibilang tidak mempunyai pendidikan agama yang kuat sewaktu kecil. Kami tidak pernah sekolah di sekolah islam atau mengikuti TPQ seperti sekarang. Itulah kenapa Bapak dulu sampai harus memanggil guru ngaji ke rumah untuk mengajari kami baca Al Quran dan ilmu agama. Aku juga tahu kecewanya Bapak saat aku tidak lulus masuk MTS karena beliau sangat ingin ada salah satu anaknya yang sekolah di sekolah islam.

“Siapa yang mengaji buat Bapak kalau Bapak sudah mati?”

Pertanyaan itu kini menjadi seperti radio yang terus terngiang di kepalaku. Dulu Bapak hampir setiap pagi mencontohkan baca Al Quran di hadapan kami semua di rumah. Mungkin hanya beberapa kali beliau menyuruh kami mengaji, kadang hanya berupa percakapan-percakapan kecil yang kami lakukan sepintas lalu. Tapi melihat dan mendengar beliau mengaji itu ternyata terekam jelas di otakku sampai kini.

Kami, anak-anaknya memang butuh waktu lama untuk bisa mengaji buat Bapak. Syukurnya tidak sampai menunggu beliau meninggal dulu untuk mendengar kami mengaji untuknya. Saat Bapak berkali-kali mesti dirawat di rumah sakit, yang membuat beliau tidak bisa lagi membaca Al Quran sendiri, tanpa diminta, kami, anak-anaknya yang mengaji di sampingnya. Bergantian.

Dan kemarin, aku teramat sedih ketika ada yang bilang padaku bahwa aku berhenti saja mengaji ketika aku mengeluh jenuh mesti mengingatkan orang untuk setoran mengaji setiap hari. Aku dibilang tidak ikhlas dalam beribadah. Ibadah itu tak pernah memberatkan, katanya.

Tapi kemudian aku teringat percakapan dengan Bapak di pagi itu bertahun-tahun lalu.

“Kalau menunggu ikhlas, sampai mati pun kamu tidak akan bisa khatam. Paksa dirimu untuk ngaji, biar terbiasa.”

“Siapa yang mengaji untuk Bapak setelah Bapak nggak ada, kalau kalian, anak-anakku, tidak terbiasa mengaji, Nduk?”

Aku menangis mengingatnya. Aku tahu, akan ada saat-saat aku merasa lelah dan bosan. Tapi tak apa, aku hanya harus terus memaksakan diri hingga lelah dan bosan itu pergi. Aku hanya harus bersama orang-orang yang menguatkanku saat lemah, mendengarkanku saat aku butuh teman cerita, dan memelukku saat aku ingin menyerah. Bukan orang yang memintaku berhenti tanpa mengerti alasanku memulainya.

Aku memang belum pintar membaca Al Quran. Sampai sekarangpun aku masih belajar memperbaiki bacaanku. Tapi setidaknya, dengan membaca setiap hari semampu yang aku bisa, memaksakan diri membaca Al Quran apapun keadaanku, lama-lama pasti lanyah juga. Seperti kata Bapak dulu.

Dan lagi-lagi, ikhlas atau tidak, biarlah menjadi urusan Allah. Setidaknya kini, setiap hari, setiap ayat yang dibaca oleh kami, anak-anaknya, semoga sampai ke Bapak dan menjadi salah satu penerang kuburnya.



#OneDayOnePost

#ODOP

#Day57

Post a Comment

0 Comments