CERITA DARI KELAS MENULIS YUK MAIN

 
kelas menulis

Akhir bulan Januari kemarin, Yuk Main membuka pendaftaran kelas menulis untuk anak-anak secara daring. Itu adalah acara pertama Yuk Main di tahun 2021.Masih belum bisa mengadakan playdate secara langsung, jadi kami membuat kegiatan ini untuk sedikit mengobati kerinduan bertemu anak-anak. 

 
Dengan judul Yuk Nulis Cerita dan Nerbitin Buku, anak-anak dibimbing untuk menulis cerita mereka sendiri dan belajar tentang dunia penerbitan. Tentu saja dengan bahasa sederhana yang mudah mereka pahami. Pesertapun kami batasi hanya 20 anak agar bisa efektif dalam pendampingan menulis. 
 
Mentor menulis kami adalah Kak Reyhan, salah satu penulis keren yang memang sudah pernah bekerja sama dengan Yuk Main sebelumnya. Kak Reyhan ini pendiri Komunitas Fiksi Kudus dan pemilik Reybook Media, sebuah penerbit indie yang pernah menerbitkan buku Yuk Main juga. 
 
Minggu pertama, 20 peserta dikumpulkan dalam satu grup WhatsApp untuk saling berkenalan satu sama lain. 20 anak ini kebanyakan dari luar kota dan tidak saling mengenal sebelumnya. Di sana juga kami mulai memberikan pemanasan menulis dengan memberikan tugas menulis cerita singkat tentang dirinya, buku favoritnya, dan kegiatan apa saja yang dilakukan selama ini di rumah. 
 
Pertemuan daring melalui zoom membahas tentang materi menulis, termasuk langkah-langkah mulai menulis, belajar tentang tokoh, dan alur cerita. Setelah itu anak-anak harus menyelesaikan tiga tulisan tentang tema yang sudah ditentukan selama satu minggu. Baru kemudian pertemuan daring berikutnya, semua tulisan akan dibahas secara singkat oleh Kak Reyhan setelah mengisi materi tentang penerbitan.
 
Hari ini, setelah melihat disain awal cover buku anak-anak itu, tiba-tiba saja aku teringat banyak hal setelah tiga minggu ini mendampingi mereka. Aku belajar beberapa hal penting dari anak-anak itu. 

1. Menghargai Hal-hal Sederhana 

Di awal-awal perkenalan, kami meminta anak-anak untuk menceritakan kegiatan keseharian mereka di rumah. Aku takjub ketika membaca satu demi satu cerita mereka, sungguh mereka sangat detil dalam menceritakan kegiatan mulai dari bangun tidur sampai malam hari menjelang tidur lagi. Mereka sangat bersemangat dengan apapun yang dilakukan setiap harinya. Sedangkan aku, orang dewasa, yang sepertinya mulai sering melupakan ‘rasa’ di setiap hal yang kulakukan. Hanya bangun tidur, melakukan kegiatan di rumah, di tempat kerja, pulang, dan tidur lagi. Tapi anak-anak itu..mereka menghargai rutinitas harian dan bisa membuatnya seru setiap harinya. 
 

2. Mengalahkan Ketakutan 

Ada anak yang tiba-tiba mengirim pesan kepada kami bahwa dia mau keluar saja. Dia merasa tidak mampu menulis tiga cerita dalam waktu satu minggu. Dia takut gagal. Dia merasa sudah tidak sanggup. Tapi setelahnya kemudian, dia mengirim pesan lagi bahwa dia akan berusaha. Ah, aku sungguh terharu dengan semangat anak ini mengalahkan ketakutan dan keraguannya sendiri. Sedangkan aku, tidak terhitung berapa kali aku menyerah dan tidak menyelesaikan sesuatu yang kumulai hanya karena takut dan ragu. 
 

3. Aku bisa Punya Uang Sendiri!! 

Setelah materi penerbitan yang di dalamnya juga ada penjelasan tentang bagaimana sebuah buku dipasarkan, dan bagaimana seorang penulis bisa mendapatkan uang dari setiap buku yang dijual, aku benar-benar tidak bisa melupakan ekspresi seorang anak yang sangat bahagia. Anak itu berkomentar “Waah…aku bisa punya uang kalau bukuku ini banyak yang mau beli dong” katanya sambil berbinar dan mengepalkan tangan Yes!!! Aku terpesona. 
 
Kemudian aku ingat dengan diriku sendiri. Dulu sekali, bagaimana bahagianya aku mendapat wesel honor menulis pertamaku. Bagaimana rasanya ada namaku di koran saat itu. Bahagianya aku mendapat hadiah satu jaket yang harganya 400 ribu rupiah, yang bagiku sangat mahal untuk ukuran sebuah jaket dari menang lomba menulis. 
 
Sekarang, mengapa aku seperti melupakan semua rasa itu? Sejak aku punya pekerjaan yang gajinya sudah cukup untukku hingga aku tidak lagi punya keinginan untuk mulai menulis secara serius lagi? Sejak aku selalu merasa tidak punya waktu lebih untuk menulis? 
 
Aku lupa saat itu, bagiku, honor menulis adalah tentang karya yang diakui, tentang tulisan yang dibaca banyak orang di luar sana. Juga tentang bahagia di setiap rupiah yang kudapatkan, meskipun tak seberapa. Dan berkenalan dengan 20 anak-anak luar biasa ini, telah menyadarkanku tentang semua itu. Bagaimana menghargai dan memberikan rasa di setiap hal yang kulakukan, bagaimana mengalahkan ketakutan, dan tekadku untuk menemukan kebahagiaan dalam menulis (lagi). 
 
Di bulan Februari ini, semesta sepertinya mendukungku. ODOP membuka kelas-kelas lanjutan yang bisa kuikuti untuk tempatku belajar menulis lagi. Kelas Tembus Media, Kelas Blog, dan Kelas Platform yang mau tidak mau memaksaku untuk rajin menulis. Aku mungkin tidak sehebat penulis-penulis lain, tapi aku akan terus belajar untuk menjadi penulis yang baik. Doakan aku yaa…

Post a Comment

0 Comments