Hari ini, setelah sekian lama, akhirnya aku membuka blog lagi. Postingan terakhir ternyata di bulan maret tahun lalu. Wow, benar-benar telah menjadi sarang laba-laba.
Kemudian, perhatianku tertuju
pada satu judul postingan yang fotonya membuatku terdiam sejenak. Tulisanku
yang di sini Ingatan-ingatan itu mengalir deras di kepalaku. Saat aku menggenggam
tangan ibuku. Bulan januari tahun lalu, beliau pertama kalinya dirawat di rumah
sakit karena stroke. Kemudian berlanjut dengan perawatan intensif dan terapi di
rumah.
Setelah itu, hanya dua kali aku
menulis di blog dan menghilang sampai sekarang. Karena orang yang kugenggam tangannya
itu pergi untuk selamanya. Hidup benar-benar berantakan waktu itu.
Jangankan ngeblog, untuk bertahan hidup saja berat.
Masih ada foto genggaman tangan
yang lain. Yang entah mengapa, aku selalu suka menggenggam tangan ibuk. Di
rumah sakit, di ruang ICU, HCU, di rumah, bahkan saat terakhir aku bisa
menyentuhnya. Saat memandikan beliau.
Pejuang Tangguhku. Mulai kusapa seperti itu saat berada di ICU. Setiap jam besuk datang, aku
selalu menyapa ibuk, dengan “Hai, Pejuang”.
Berharap beliau sekuat itu
berjuang keluar dari ruangan, yang membuat hatiku merana setiap kali aku
memasukinya. Dan benar saja, she did it! Bisa meninggalkan ICU setelah
berhari-hari dirawat. Benar-benar seorang pejuang.
Meskipun setelahnya tidak juga
menjadi mudah. Aku tahu terapi, NGT, dan prosedur pengobatan selanjutnya sangat
menyakitkan. Tapi hari demi hari bisa dilewati. Beliau berjuang sampai titk
akhir. Sampai kemudian, bahkan seorang
pejuangpun harus mengakhiri perjuangannya saat peperangan telah usai. April.
setahun lalu, pejuangku telah menyelesaikan semua tugasnya.
Dan sekarang, aku menuliskan
kisah ini. Bukan untuk mengorek luka lama, mengingat seorang ibu tidak
pernah membuatku terluka. Hanya
membuatku merasa….rindu. Rindu yang menyesakkan. Rindu yang ternyata, semakin
lama, semakin terasa menyiksa. Aku menulis untuk mengingat setiap cinta dan kenangan. Menulis untuk memastikan, doa-doa
yang kulangitkan setiap hari untuknya (juga untuk Bapak) tak pernah putus. Aku menulis untuk menyembuhkan diri dari sakit
karena kehilangan. Dan terakhir, aku menulis untuk melanjutkan hidup. Seperti
maunya.
"Hai, pejuang tngguhku, bagaimana
di sana? Sudah bisa ngobrol dengan bapakkah?
Jangan khawatir, kami, ketiga
putrimu baik-baik saja. Rukun dan saling menjaga.
Aku, seperti pesan terakhirmu,
sudah mengalahkan ketakutanku dan berani melanjutkan hidup.
Dan juga, aku sudah memasak
setiap hari di dapur kita seperti permintaanmu. Iyaa, aku tahu dulu aku sering protes kalau makan menu yang sama seharian dan
selalu engkau jawab “Masak Sendiri!!” hahaha..
Ehm…pesanmu yang satu lagi, sedang otw
kupenuhi. Segera ^_^"
0 Comments